Kisah ini terjadi di zaman salaf ash shalih ketika kekuasaan Islam berekspansi ke wilayah-wilayah yang dikuasai oleh bangsa lain (Persia, Romawi dan sebagainya).
Dalam suatu kisah yang dipaparkan Al Yafi’i dari Syeikh Abdul Wahid bin Zahid, dikatakan: Suatu hari ketika kami sedang bersiap-siap hendak berangkat perang, aku meminta beberapa teman untuk membaca sebuah ayat. Salah seorang lelaki tampil sambil membaca ayat Surah At Taubah ayat 111, yang artinya sebagai berikut :
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka”
Selesai ayat itu dibaca, seorang pemuda yang berusia sekitar 15 tahunan bangkit dari tempat duduknya. Ia berkata: "Wahai Abdul Wahid, benarkah Allah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan surga untuk mereka?” “Ya, benar, anak muda” kata Abdul Wahid. Anak muda itu melanjutkan:”Kalau begitu saksikanlah, bahwa diriku dan hartaku mulai sekarang aku jual dengan surga.”
Anak muda yang mendapat harta warisan cukup besar dari ayahnya yang telah meninggal itu kemudian mengeluarkan semua hartanya untuk disedekahkan bagi perjuangan. Hanya kuda dan pedangnya saja yang tersisa. Sampai tiba waktu pemberangkatan pasukan, ternyata pemuda itu telah datang lebih awal. Dialah orang yang pertama kali kulihat. Dalam perjalanan ke medan perang pemuda itu kuperhatikan siang berpuasa dan malamnya dia bangun untuk beribadah. Dia rajin mengurus unta-unta dan kuda tunggangan pasukan serta sering menjaga kami bila sedang tidur.
Sewaktu sampai di daerah Romawi dan kami sedang mengatur siasat pertempuran, tiba-tiba dia maju ke depan medan dan berteriak: "Hai, aku ingin segera bertemu dengan Bidadari Bermata Jeli ....” Kami menduga dia mulai ragu dan pikirannya kacau, kudekati dan kutanyakan siapakah Bidadari Bermata Jeli itu. Ia menjawab: “Tadi sewaktu aku sedang kantuk, selintas aku bermimpi. Seseorang datang kepadaku seraya berkata: “Pergilah kepada Bidadari Bermata Jeli.” Ia juga mengajakku memasuki taman yang di bawahnya terdapat sungai dengan air yang sangat jernih dan dipinggirnya nampak para bidadari duduk berhias dengan mengenakan perhiasan-perhiasan yang indah. Manakala melihat kedatanganku, mereka bergembira seraya berkata: “Inilah suami Bidadari Bermata Jeli . . . . .”
“Assalamu’alaikum” kataku bersalam kepada mereka. “Adakah di antara kalian yang bernama Bidadari Bermata Jeli?” Mereka menjawab salamku dan berkata: “Tidak, kami ini adalah pembantunya. Teruskanlah langkahmu.”
Aku meneruskan langkah hingga sampai pada taman yang lebih indah dari yang telah kulihat, dan di bawahnya mengalir sungai dari air susu yang putih bersih. Di pinggirnya duduk para bidadari yang lebih cantik dari bidadari sebelumnya. Mereka adalah bidadari yang paling cantik yang pernah kulihat, yang mengenakan perhiasan-perhiasan yang lebih indah. Saat melihat kedatanganku, mereka bergembira seraya berkata: “Inilah suami Bidadari Bermata Jeli . . . . .”
“Assalamu’alaikum” kataku bersalam kepada mereka. “Adakah di antara kalian yang bernama Bidadari Bermata Jeli?” Mereka menjawab salamku dan juga berkata: “Tidak, kami ini adalah pembantunya. Teruskanlah langkahmu.”
Aku meneruskan langkah hingga sampai pada taman yang lebih indah lagi dari yang telah kulihat, dan di bawahnya mengalir air madu yang tidak akan berubah rasa. Di pinggirnya duduk para bidadari yang lebih cantik dari bidadari sebelumnya. Mereka adalah bidadari yang paling cantik yang pernah kulihat, yang mengenakan perhiasan-perhiasan yang lebih indah. Ketika melihat kedatanganku, mereka bergembira seraya berkata: “Inilah suami Bidadari Bermata Jeli . . . . .”
“Assalamu’alaikum” kataku bersalam kepada mereka. “Adakah di antara kalian yang bernama Bidadari Bermata Jeli?” Mereka menjawab salamku dan lagi-lagi berkata: “Tidak, kami ini adalah pembantunya. Teruskanlah langkahmu.”
Aku meneruskan langkah hingga sampai pada taman yang lebih indah dari yang telah kulihat, dan di bawahnya mengalir sungai khamar. Di pinggirnya duduk para bidadari yang lebih cantik lagi dari bidadari sebelumnya. Mereka adalah bidadari-bidadari yang paling cantik yang pernah kulihat, yang mengenakan perhiasan-perhiasan yang lebih indah lagi. Tatkala melihat kedatanganku, mereka bergembira seraya berkata: “Inilah suami Bidadari Bermata Jeli . . . . .”
“Assalamu’alaikum” kataku bersalam kepada mereka. “Adakah di antara kalian yang bernama Bidadari Bermata Jeli?” Mereka menjawab salamku dan seperti bidadari-bidadari sebelumnya berkata: “Tidak, kami ini adalah pembantunya. Teruskanlah langkahmu.”
Aku kembali meneruskan perjalananku dan akhirnya aku sampai pada kemah yang terbuat dari mutiara berwarna putih. Di pintu kemah terdapat seorang bidadari yang lebih cantik dari bidadari-bidadari yang tadi kulihat di pinggir sungai-sungai. Sewaktu melihat kehadiranku dia nampak sangat gembira dan memanggil-manggil yang ada di dalam: “Hai Bidadari Bermata Jeli, ini suamimu datang ..…”
Ketika aku dipersilahkan masuk kulihat bidadari yang sangat cantik duduk di atas sofa emas yang ditaburi permata dan yaqut. Dia adalah sosok bidadari yang jauh lebih cantuk dari yang kutemui di sungai-sungai, dan juga yang berjaga di depan kemah. Waktu aku mendekat dia berkata: “Bersabarlah, kamu belum diijinkan lebih dekat kepadaku, karena ruh kehidupan dunia masih ada dalam dirimu. Nanti sore kita akan bertemu lagi di sini, untuk berbuka puasa bersama. Bersabarlah hingga saat itu tiba.” Anak muda melanjutkan kisah mimpinya: “Lalu aku terbangun, wahai Abdul Hamid. Aku tidak sabar lagi menanti terlalu lama”.
Belum lagi percakapan kami selesai, tiba-tiba sekelompok pasukan musuh terdiri atas sembilan orang menyerbu kami. Pemuda itu segera bangkit dan melabrak mereka. Selesai pertempuran aku mencoba meneliti, kulihat anak muda itu penuh luka di tubuhnya dan berlumuran darah. Ia nampak tersenyum gembira, senyum penuh kebahagiaan, hingga ruhnya berpisah dari badannya untuk meninggalkan dunia.